Duel antara Chelsea dan Hull City pada partai lanjutan Premier League di Stadion Stamford Bridge, 21 Januari 2017, menandai kembalinya Diego Costa setelah sempat dibekukan oleh Manajer Antonio Conte.
Pada masa injury time babak pertama, bola tembakan kaki kanan Costa berakhir di pojok kanan bawah gawang Eldin Jakupovic. Striker asal Spanyol itu berlari ke sudut lapangan untuk perayaan bersama rekan-rekannya.
Dia melakukan gerakan tangan menyerupai mulut berbicara, seolah ingin membungkam pemberitaan tentang rencana kepindahannya ke China.
Itulah gol terakhir Costa bersama tim berjulukan The Blues. Setelah partai kontra Hull, pemain berusia 28 tahun itu tampil tumpul.
Pada laga berikutnya melawan Liverpool di Stadion Anfield, 31 Januari 2017, Costa sempat mengalami kegagalan penalti. Bola sepakannya diamankan oleh penjaga gawang Simon Mignolet pada menit ke-76.
Penalti itu menjadi satu-satunya tembakan tepat sasaran dari Costa.
Tren minor Costa berlanjut saat melawan Arsenal, 4 Februari 2017, dan Burnley, 12 Februari 2017. Dalam dua laga itu, dia melepaskan lima tembakan, empat di antaranya melenceng dan sisanya membentur tiang.
Dengan kata lain, Costa tidak mampu melepaskan tendangan ke arah gawang melalui skenario open play dalam tiga partai terakhir Premier League.
Tidak cuma itu, penurunan juga terlihat dari akurasi operan. Dalam tiga pertandingan terakhir, rata-rata operan sukses dari Costa cuma 50 persen. Bandingkan dengan duel melawan Hull yang diwarnai 79 persen operan sukses dari pemilik nomor 19 itu.
Apa yang salah? Apakah Costa belum bisa fokus untuk Chelsea setelah menerima iming-iming gaji 400.000 poundsterling (sekitar Rp 6,6 miliar) per pekan dari Tianjin Quanjian?
Sebelum pertandingan kontra Burnley, Conte sempat menjawab, “Menurut saya dia akan bertahan. Saya senang dengan penampilan dia, komitmen, dan sikap dia. Dia mencintai klub ini.”
Itu kata Conte. Namun, kalau performa minor berlanjut hingga akhir musim, Costa seolah memberikan pesan bahwa cintanya bukan lagi untuk Chelsea.