oleh

Ada Apa Dengan Mamet?

Nama saya Rangga. Saya hanyalah seorang pelajar SMA biasa. Saya lebih memilih mengisi jam istirahat dengan baca buku di perpustakaan daripada baca koran di toilet khusus guru.

Semua berubah ketika Pak Wardiman sang penjaga sekolah, tanpa sepengetahuan saya, mengikutkan puisi buatan saya dalam lomba cipta puisi tahunan yang diadakan oleh pihak sekolah. Lomba tersebut berhadiah sepeda kumbang.

Tak dinyana, puisi buatan saya menang. Pak Wardiman mengambil hadiah sepedanya, kumbangnya untuk saya. Setelah saya resmi jadi pemenang lomba puisi tanpa sengaja, ada cewek mading yang ngejar-ngejar saya untuk minta wawancara.

“Kamu Rangga, kan?” tanya cewek mading tersebut sambil ngajak salaman. Tapi saya abaikan tangan halusnya yang terjulur. Berhubung lupa kobokan, tangan saya masih ada bumbu rendang. Sebab saya makan siang di RM Padang.

“Bukan. Saya sebenarnya siluman tengkorak,” kata saya berpura-pura.

“Oh.” Cewek itu langsung percaya dan pergi.

Keesokan harinya, saya menemukan surat kaleng dari seseorang bernama Cinta. Cinta pastilah si cewek mading itu. Isi suratnya hanyalah nama ayah saya digambar dengan doodle. Ternyata masih zaman ngata-ngatain nama orangtua.

Saya langsung marah dan labrak Cinta di ruangan mading.

“Bisa ngomong sebentar?” Saya menarik tangan Cinta sampai kami berdua berada di bawah pohon belimbing.

“Mau ngomong apa?” tanya Cinta sambil gigitin kukunya.

Saya langsung menendang batang pohon belimbing sampai buah-buahnya berjatuhan menimpa kepala Cinta. Cinta pun keliyengan. Saya lari sambil ngakak.

Setelah hari itu, saya kualat, buku favorit saya hilang. Buku favorit saya adalah buku rapor. Di sana ada nama ayah dan ibu saya. Kalau ditemukan pihak tak bertanggung-jawab, nama orangtua saya bakal tersebar ke seantero sekolah dan saya bakal di-bully sampai lulus SMA. Sebab ayah saya dikenal sebagai pendukung utama Farhat Abbas dalam pilpres tahun lalu. Keluarga saya pun dikucilkan masyarakat sekitar karena hal itu. Ibu dan kakak-kakak saya pun meninggalkan ayah saya karena tidak tahan dengan bisik-bisik tetangga.

Untungnya, rapor saya ditemukan Cinta. Saya langsung berterima-kasih dengan mengajaknya ke toko buku bekas di Kwitang. Saya ingin menunjukkan kepada Cinta bahwa masih banyak buku-buku yang lebih seru daripada isi rapor saya yang nilai penjaskesnya merah.

Ketika saya asyik memilih buku bekas, Cinta tepuk jidat.

“Ya ampun! Aduh! Gue lupa hari ini ada janji sama temen-temen nonton Gigi Raisa Cokelat,” ucap Cinta sekonyong-konyong.

“Emang kenapa gigi Raisa sampai cokelat? Sering minum kopi?” sahut saya.

“Bukan. Itu konser kolaborasi antara Gigi, Raisa dan Cokelat,” ralat Cinta.

“Nggak ada kamu, mereka tetep manggung, kan?” sinis saya.

“Jangan begitu dong. Saya udah nyiapin bendera Slank dari kapan tahun.” Cinta mengibarkan bendera yang sejak tadi dibawanya.

“Kayak nggak punya kepribadian aja,” sungut saya.

“Hah? Apa kamu bilang?” Cinta tersinggung.

“Iya. Nonton harus sama-sama. Pulang sekolah juga harus sama-sama. Sampai bayar SPP ke ruang TU juga harus sama-sama. Apa namanya kalau bukan mengorbankan kepentingan pribadi demi sesuatu yang kurang prinsipil?” ucap saya dengan nada judes-judes ganteng.

News Feed