Dunia sepak bola mulai “keranjingan dongeng”. Setelah Leicester City menjuarai Liga Primer Inggris 2015-16, dongeng baru muncul di tanah Jerman.
Dongeng itu ditulis anak muda berusia 29 tahun, Julian Nagelsmann. Ia adalah pelatih kepala klub Hoffenheim, klub dari kota di selatan Frankfurt dan di utara Stuttgart, Jerman.
Nagelsmann membuat berita karena berhasil mengantar tiket ke Liga Champions untuk pertama kali sepanjang 117 tahun usia Hoffenheim. Kepastian itu diperoleh usai menempati posisi tiga klasemen Bundesliga.
Posisi Hoffenheim memang masih bisa berubah karena Bundesliga memiliki tiga laga sisa. Sementara Borussia Dortmund duduk di posisi empat dengan selisih satu poin (58 dan 57).
Namun Hoffenheim tetap tidak akan anjlok lebih dari posisi empat karena Hertha Berlin di posisi lima hanya bisa mengumpulkan poin maksimal 55. Adapun Bundesliga punya jatah mengirim empat wakil ke Liga Champions.
Namun andai Hoffenheim mengakhiri Bundesliga di posisi empat, mereka akan memulai Liga Champions 2017-18 dari putaran play-off kualifikasi.
Tiket Hoffenheim ke Liga Champions ditentukan oleh gol Benjamin Hubner untuk mengalahkan Eintracht Frankfurt 1-0. Kemenangan itu yang memastikan nilai 58 mereka tak lagi bisa dikejar tim di luar empat besar.
Kamis mendatang (6/5), Hoffenheim akan menjalani partai “final” di kandang Dortmund. Siapa menang akan memastikan posisi tiga. Hubner mengatakan Hoffenheim tidak tertekan.
“Tekanan ada pada Dortmund. Kami ke sana untuk meraih hasil bagus,” tukas pemain 27 tahun ini dalam laman Bundesliga.
Mengejutkan publik
Kembali ke Nagelsmann, ini adalah buah tangan dinginnya.
Nagelsmann ditunjuk menjadi pelatih utama Hoffenheim setelah Huub Stevens mundur karena masalah kesehatan pada awal 2016. Ketika Nagelsmann masuk, posisi Hoffenheim terancam degradasi.
Keputusan Hoffenheim mengangkat derajat Nagelsmann dari pelatih tim U-19 ke tim senior memang aneh. Tentu saja, seperti ditulis Sky Sports, siapa yang tidak heran melihat ada anak muda 28 tahun –setahun silam– dipercaya menangani tim untuk berjibaku di pentas Bundesliga –satu dari lima kompetisi domestik paling elite di dunia.
Namun Nagelsmann, yang mendapat kontrak penuh tiga tahun, belum berhenti membuat kejutan. Pelatih termuda sepanjang sejarah Bundesliga itu berhasil menyelamatkan Hoffenheim dari degradasi.
Nagelsmann membawa Hoffenheim meraih 23 poin dari 42 poin yang mungkin diambil sejak masuk ke tim pada Februari 2016. Dan musim ini, musim penuh pertamanya sebagai pelatih tim senior, Hoffenheim hanya kalah tiga kali dalam 31 pertandingan Bundesliga.
Itu adalah jumlah kekalahan paling sedikit kedua di Bundesliga musim ini setelah sang juara Bayern Muenchen. Itu sebabnya Hoffenheim bisa meraih tiket ke Liga Champions.
Lantas apa rahasia Nagelsmann, yang tak pernah bermain untuk tim senior karena cedera lutut serius?
Ini memang tak lazim. Inilah sebuah insting dan perhitungan sepak bola Jerman yang penuh inovasi –terutama Hoffenheim. Klub yang berdiri pada 1899 ini punya naluri kuat pada seorang pelatih.
Pada 2006, Hoffenheim berani mengontrak pelatih Ralf Rangnick meski masih berada di kompetisi regional. Rangnick berhasil membawa Hoffenheim naik ke Bundesliga 2 dan setahun kemudian menjadi runners-up Bundesliga 1.
Namun keberhasilan itu dicibir publik Jerman, tentu saja kecuali para penduduk kawasan Hoffenheim yang justru masuk kategori perdesaan. Sukses Hoffenheim disebut menyalahi tradisi Jerman; hanya membeli pemain-pemain binaan klub lain, bahkan pelatih, dan bukan mendidik dari bawah.
Tetapi keberadaan Nagelsmann seharusnya bisa menghapus cibiran itu. Nagelsmann bukan siapa-siapa ketika masuk Hoffenheim.
Sang bos klub Dietmar Hopp tak melulu menggunakan kekuatan uangnya untuk merekrut barang jadi. Pengusaha perangkat lunak komputer itu paham bahwa sepak bola harus dibangun dari bawah dan Nagelsmann adalah salah satu buktinya.
“Ini langkah berani, tapi kami melihat bakat besar Nagelsmann. Kami harus memberinya kesempatan,” ujar Direktur Sepak Bola Hoffenheim, Alexander Rosen, soal penunjukkan Nagelsmann.
Era baru manajemen sepak bola
Cedera serius boleh saja mengakhiri mimpi Nagelsmann untuk menjalani profesi pemain profesional. Dia kemudian menjalani empat semester di fakultas bisnis universitas, tapi minatnya pada sepak bola belum berubah.
Nagelsmann pun banting setir mempelajari Sports Science. Kali ini, demikian ditulis These Football Times, dia membuka jalur ke dunia pelatih sepak bola.
Nagelsmann juga menyerap banyak ilmu dari pelatih-pelatih senior karena kebetulan kariernya dijalani sebagai asisten pelatih. Salah satu pelatih yang memberi pengaruh besar padanya adalah Thomas Tuchel, pelatih Dortmund yang pernah membinanya sebentar di Augsburg.
Bahkan berkat rekomendasi Tuchel pula Nagelsmann bisa mengambil sertifikat kepelatihan kelas A. Nagelsmann juga dipuji karena berhasil menggabungkan seni manajemen dan kedisiplinan pada para pemainnya.
Mario Harter, jurnalis Sky Sports Jerman, mengatakan bahwa Nagelsmann tak pernah menggunakan taktik yang sama dari satu laga ke laga berikutnya. Dia selalu fleksibel dan terus mengubah timnya.
“Musuh terbesar para pemain adalah rutinitas, itu filosofi Nagelsmann,” ujar Harter bersaksi.
Persiapan Nagelsmann sebelum laga juga tak biasa. Menurut para jurnalis Jerman, Nagelsmann biasa mengunci diri di dalam ruangan sambil membawa pulpen dan buku tulis kecil untuk menggodok taktik.
Urusan taktik, dalam usia 29 pula, Nagelsmann disebut salah satu pelatih terbaik di Bundesliga. Gaya permainan Hoffenheim disebut perpaduan filosofi Arsene Wenger, Pep Guardiola, Jose Mourinho, dan legenda Johan Cruyff.
Namun taktik Nagelsmann tak pernah komplek, bahkan cenderung sederhana. Dia biasa menggunakan formasi 3-5-2 dengan kembangan 3-1-4-2, tapi tak menganggap penting hal itu. Nagelsmann lebih fokus pada micro tactics.
“Itu cuma soal (jarak) lima atau 10 meter, soal 4-4-2 atau 4-2-3-1. Padahal intinya Anda cuma mengikuti sebuah kick-off dan mungkin hanya delapan kali dalam sebuah laga, ungkap Nagelsmann dikutip The Guardian.
Maksudnya, hal paling penting dalam pertandingan adalah memastikan tim mencetak gol dan tidak kebobolan. Nagelsmann tidak melihat formasi sebagai hal yang lebih penting dibanding bagaimana cara para pemain menembus blokade lawan atau menahan serangan lawan.
Dia juga sadar bahwa dalam usia 29 bakal sulit untuk mengarahkan para pemainnya yang sebaya dan beberapa bahkan lebih tua. Itu sebabnya Naggelsmann mengadaptasi pendekatan egaliter.
“Nagelsmann tak punya kantor pribadi di Hoffenheim. Dia berbagi ruangan dengan para asistennya dan itu sangat penting baginya,” imbuh Harter.
Nagelsmann menjelaskan bagaimana dia menerapkan pentingnya pendidikan, aplikasi program latihan, dan membedakan manajemen kolektif serta individu. Menurutnya, seorang pelatih harus bisa mencari solusi taktik untuk lawan berbeda.
Namun pada saat bersamaan, pelatih juga harus mampu mengelola 22 atau 23 pemainnya yang tentu berbeda satu dengan lainnya. Pelatih mesti bisa mengarahkan mereka ke satu tujuan.
“Anda harus bisa menangani seorang pemain, memotivasinya, dan seterusnya. Tidak ada bedanya menangani pemain muda dan pemain berpengalaman,” ujar Nagelsmann yang mencintai pekerjaannya.