infomixbola.com – Tak dimungkiri, Benua Eropa selalu menjadi parameter tren sepak bola dunia. Industri sepak bola yang mapan dan sistem pembinaan yang saling berkelindan di negara-negara Eropa, merupakan bagian yang menjadi faktor utamanya.
Eropa masih menjadi kiblat sepak bola dunia dalam beberapa dekade belakangan ini. Pertarungan untuk merebut pengaruh dalam hal gaya permainan di setiap negara Benua Biru juga tak pernah sepi dari perbincangan.
Nah, Piala Eropa menjadi salah satu medan pertarungan tersebut. Di ajang ini, setiap pelatih sudah menyiapkan racikan strategi yang menjadi andalan mereka.
Pemenangnya bukan hanya mengangkat trofi Piala Eropa. Strategi mereka ‘terpaksa’ dipelajari negara lainnya, baik untuk ditiru kemudian dimodifikasi, maupun untuk diuji dengan strategi-strategi baru.
Teori demi teori dalam strategi di lapangan, selalu dinamis dengan perubahan-perubahannya seiring perkembangan zaman. Pada dua edisi Piala Eropa lalu misalnya, permainan yang dipopulerkan dua kali juara Piala Eropa beruntun, Spanyol, seperti menjadi semacam tesis baru di ilmu kepelatihan sepak bola.
Tesisnya adalah penekanan pada ball possession (penguasaan bola). Setelah Spanyol bisa meraih sukses dengan cara tersebut, setiap negara bahkan di dunia amat yakin, tim yang memiliki penguasaan bola lebih dominan dibandingkan tim lawan, akan memiliki peluang lebih besar untuk mencapai kemenangan.
Jerman yang sebelumnya memiliki tradisi permainan sepak bola efektif dan mengorganisasi permainan dari belakang ke depan, sudah memodifikasi strateginya di Piala Dunia 2014 lalu.
Gaya penguasaan bola yang dilakukan mula dari lini belakang hingga depan, dikombinasikan dengan permainan kombinasi bola-bola pendek dan panjang, ala tiki-taka Spanyol. Sistem dan sumber daya pemain di skuat Tim Panser itu pula yang mampu membawa Jerman juara Piala Dunia 2014.
Sistem itu disempurnakan Jerman usai kalah dari Italia pada semifinal Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina.
Jerman berhasil melakukan prinsip-prinsip ATM dalam mengembangkan strategi saat itu: Amati, Tiru, dan Modifikasi.
Pada Piala Eropa 2016 kali ini, mengandalkan sepenuhnya pada penekanan ball possession tampaknya mulai ditinjau ulang sejumlah negara. Tak sedikit pula yang mulai skeptis dengan keyakinan bahwa tim yang bisa mendominasi penguasaan bola, bisa meraih hasil maksimal, terutama kemenangan.
Menarik juga untuk disimak perkembangan strategi permainan antar klub-klub di Liga Champions 2016. Juaranya tak lagi didominasi oleh tim yang amat fanatik dengan gaya permainan penguasaan bola: Real Madrid.
Liga Champions yang merupakan level klub, memang tak bisa sepenuhnya dijadikan patokan dalam meraba permainan di Piala Eropa.
Namun, setidaknya dengan melihat mayoritas pemain-pemain Eropa yang tersebar di klub dan pelatih dengan tradisi ilmu kepelatihan yang sama, tren penerapan strategi di Liga Champions bisa menjadi salah satu indikatornya saja.
Tak seperti Barcelona, Real Madrid bukan tim yang terlalu terpaku dengan filosofi penguasaan bola. Efektivitas menjadi kunci dalam permainan Madrid.
Semakin menarik pula melihat bagaimana Atletico Madrid bisa menghancurkan dua klub yang amat menekankan pada penguasaan bola: Barcelona dan Bayern Munich.
Banyak yang menilai nyinyir sukses Atletico karena permainan sepak bola bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik.
Meski demikian, justru di situlah kemenangan strategi dari klub asal Madrid tersebut hingga tembus ke final. Dua kali ditekan oleh tim kuat yang menang mutlak dengan penguasaan bola, Atletico bisa menang, kendati tampil dengan hanya 30 persen menguasai bola.
Ada semacam antitesis dari Atletico yang dilancarkan untuk menguji sebuah tesis ball possession seperti yang menjadi kekuatan Barcelona dan Munich.
Rojiblancos berhasil membuktikan, setidaknya hingga ke final, tim dengan peluang lebih banyak, apalagi efektif memanfaatkan peluang, punya peluang menang lebih besar dibandingkan tim yang mendominasi penguasaan bola.
Artinya, belum tentu pula tim yang mampu menguasai bola akan bisa menciptakan peluang lebih besar ketimbang tim dengan penguasaan bola lebih sedikit. Caranya bisa dilakukan dengan strategi serangan balik efektif.
Kembali berkaca pada permainan Atletico, ada dua faktor yang mereka manfaatkan ketika menggunakan strategi serangan balik.
Pertama, para pemain di lini depan langsung membuka serangan ke jantung pertahanan ketika mendapatkan peluang bagus. Jika sulit, opsi lainnya adalah dengan tetap menguasai bola. Dalam hal ini, penguasaan bola tetap dibutuhkan untuk menjaga tempo, sesekali melihat celah peluang di pertahanan lawan.
Benar, strategi seperti itu membutuhkan pertahanan yang amat solid dan rapat. Namun, bukan berarti permainan seperti Atletico hanya menekankan pertahanan.
Tumpuan utama tim seperti Rojiblancos, ada pada model serangan mereka yang memanfaatkan peluang sebanyak dan seefektif mungkin. Serangan balik hanya menjadi sekian opsi ketika harus mengadapi tim dengan strategi bertahan. Bisa dibilang, Atletico sukses melancarkan antistrategi terhadap tim lawan.
Pertanyaannya yang muncul, apakah filosofi permainan seperti ini bakal menjadi model berikutnya di Piala Eropa? Untuk itu, amat layak untuk mengamati sejumlah tim kontestan yang akan kembali beradu filosofi permainan di turnamen ini.