Site icon Prediksi Bola

The Ordinary One Julukan yang Pantas Bagi Mourinho Sekarang

Moú

Manchester United bermain imbang empat kali berturut-turut di kandang mereka di Liga Primer Inggris. Lawan-lawan mereka adalah Stoke City, Burnley, Arsenal, dan West Ham United. Dari keempat pertandingan itu, United begitu mendominasi penguasaan bola (kecuali saat melawan Arsenal), penciptaan peluang, dan jumlah tembakan.

“Kesebelasan ini, saat ini, adalah kesebelasan yang paling tidak beruntung di Liga Primer. Itu adalah kenyataannya,” kata José Mourinho setelah United ditahan imbang 1-1 oleh tamunya, Arsenal (19/11/2016).

Dari 12 tembakan yang United catatkan pada malam itu, ada 5 tembakan yang tepat sasaran (on target), namun hanya satu saja yang menghasilkan gol. Sementara Arsenal mencetak gol dari satu-satunya shot on target mereka pada pertandingan itu, dan itu pun terjadi di menit ke-89.

Wajar, kan, kalau Mourinho bilang United tidak beruntung? Tidak juga, sih. Jika Anda percaya statistik dan angka-angka, tidak ada pembelaan untuk “ketidakberuntungan” United tersebut. Tapi jika Anda tidak percaya juga tidak apa-apa.

Pada kenyataannya, sepakbola itu tidak pernah berhenti untuk berubah, bertransformasi, berevolusi, atau apapun bahasanya; intinya sepakbola tidak pernah sama. Mourinho adalah manajer yang sukses. Tidak perlu dibuktikan lagi.

Namun, untuk menjadi manajer yang terus sukses, bukan hanya pernah sukses atau banyak suksesnya, seorang manajer harus senantiasa bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu.

“The Special One” adalah julukan yang ia sampaikan sendiri saat Mourinho pertama kali datang ke Chelsea pada 2004. Saat itu, jujur saja, ia memang spesial, sangat spesial malah. Mourinho kemudian pergi pada 2007 dan kembali lagi ke Chelsea pada 2013.

Saat ia kembali itu, ia menyampaikan bahwa ia adalah “The Happy One”. Bisa dibilang ia menjalani dua musimnya yang happy bersama Chelsea, apalagi di musim keduanya ia berhasil menjadi juara lagi. Tapi di musim ketiganya, ya, kita tahu sendiri apa yang terjadi.

Waktu belum banyak berlalu dari situ. Mourinho kemudian kembali ke Inggris untuk menukangi kesebelasan paling sukses di Inggris, Manchester United. Singkat cerita, ia kembali bertemu dengan “mantan”-nya, Chelsea, tapi harus mengakui ketangguhan Antonio Conte karena dicukur 4-0.

Membandingkan Mourinho dan Conte, misalnya, akan membuat kita menyadari betapa jauhnya jarak mereka. Sebanyak 11 poin memisahkan mereka sekarang, saat United berada di peringkat enam dan Chelsea di puncak.

Selain Conte, masih ada Pep Guardiola, Jürgen Klopp, Mauricio Pochettino, dan yang lainnya. Nasib Mourinho saat ini sesungguhnya menandakan Mourinho yang belum juga bisa beradaptasi dengan taktik sepakbola yang terus berubah, bertransformasi, dan berevolusi.

Cara bertahan yang harus di-update

Hal yang paling terkenal dari taktik Mourinho adalah sepakbola pragmatisnya yang mengandalkan pertahanan kuat. Apapun yang terjadi di lapangan, apapun caranya, ia ingin kesebelasannya menang. Maka tidak jarang, meskipun ini masalah selera, permainan kesebelasan Mourinho adalah permainan yang tidak terlalu menghibur.

Kita mungkin akan teringat dengan Louis van Gaal lagi. Tapi sebenarnya Mourinho tidak pernah benar-benar sama dengan Van Gaal meskipun mereka bisa jadi membosankan.

Sialnya, United sudah kebobolan 15 kali. Angka ini adalah angka terburuk dari tujuh kesebelasan teratas saat ini di Liga Primer. Meskipun mereka hanya kecolongan tembakan sebanyak 9,38 per pertandingan (terbaik keempat), ini tetap saja dianggap sebuah penurunan jika memang benar bahwa Mourinho mengandalkan sepakbola bertahan yang tidak jarang dianggap memarkir bus.

Pada saat bertahan, dari dulu sampai sekarang Mourinho tetap sama, yaitu mengandalkan zonal marking alih-alin man-marking seperti yang diperagakan Van Gaal sebelumnya. Pertahanan United begitu pasif di mana mereka hampir selalu bertahan dengan dalam.

Formasi andalannya, 4-2-3-1, tidak jarang berubah menjadi 6-3-1 saat bertahan. Kedua winger-nya ikut turun membantu pertahanan. Hal ini ternyata tidak selalu menunjukkan United yang kuat dalam bertahan. Justru dengan winger-nya turun, akan ada banyak ruang dan waktu yang tercipta dan bisa dimanfaatkan oleh pemain-pemain berbahaya seperti Eden Hazard, Philippe Coutinho, atau Kevin de Bruyne.

Dibandingkan dengan kompetitor Mourinho, misalnya Guardiola, Klopp, dan Pochettino, mereka bisa membuat kesebelasannya bertahan dengan menerapkan pressing secara terstruktur. Dengan skema bertahan seperti ini, baik Manchester City, Liverpool, dan Tottenham Hotspur bisa mendapatkan keuntungan dari lawan mereka yang sedang menyerang.

Mereka meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan kembali penguasaan bola dari wilayah yang lebih dalam di final third atau middle third lawan. Sistem ini juga yang membuat lawan akan kehilangan irama ketika mereka menyerang.

Kembali ke saat Mourinho memenangkan gelar Liga Primer untuk Chelsea, ia membuat bentuk kesebelasannya sangat terorganisir dan sulit ditembus pada saat itu. Tapi pendekatan dengan cara itu, saat ini, sesungguhnya sudah ketinggalan zaman. Mourinho butuh perubahan taktik.

Perubahan taktik untuk meningkatkan efektivitas

Meskipun Mourinho mendatangkan Zlatan Ibrahimović, Paul Pogba, dan Henrikh Mkhitaryan, sepakbola bertahannya tidak akan pernah berubah. Soal keberuntungan, ada satu statistik yang sebaiknya mulai Mourinho perhatikan jika ia memandang bahwa kesebelasannya tidak beruntung. Statistik tersebut adalah konversi gol.

Untuk menghitung konversi gol (goal conversion), kita bisa mendapatkannya dari jumlah gol dibagi seluruh tembakan, kemudian dikalikan 100 persen. Ternyata soal konversi gol, United berada pada peringkat ketiga… dari bawah (!).

Mereka mencatatkan 8,18%; hasil dari 220 total tembakan tapi hanya 18 saja yang masuk. Statistik ini menyampaikan bahwa mereka harus menembak dua kali lebih banyak dari lawan-lawan mereka agar mereka bisa mencetak gol. Inilah yang membuat kita jangan kaget ketika melihat angka total tembakan United begitu banyak, dengan Ibrahimović memimpin daftar pencetak tembakan terbanyak di Liga Primer dengan 63 tembakan.

Mereka kurang klinis di depan gawang. Hal ini yang membuat United lebih pantas disebut tidak efektif daripada tidak beruntung. Lalu, apa yang salah?

Selain Chelsea, Liverpool, Man City, Arsenal, dan Spurs, banyak kesebelasan yang menerapkan garis pertahanan rendah saat melawan United. Ini akan membuat penyerangan United tidak bisa bergerak dengan cepat. Pogba dan Ibrahimović beberapa kali terlihat turun ke belakang untuk membantu United dalam membangun serangan.

Masalahnya, hal ini akan membuat situasi yang serba tidak enak untuk United. Misalnya jika Ibrahimović turun, tekanan kepada pertahanan lawan otomatis akan berkurang. Meskipun itu berarti lapangan tengah akan dipenuhi oleh para pemain United, mereka jadi memiliki opsi yang terbatas untuk mengalirkan bola ke depan.

Ibrahimović sebenarnya lebih cocok jika dibiarkan di depan dan dilayani oleh operan-operan sambil juga dibantu melalui pergerakan-pergerakan pemain lainnya di wilayah final third lawan.

Pilihan lainnya bagi Mourinho adalah dengan memaksimalkan Pogba. Pemain termahal di dunia ini adalah pemain yang memiliki teknik dan fisik fantastis. Sejauh ini, Mourinho kelihatan selalu memainkan Pogba dengan harapan ia akan memberikan pengaruhnya dari posisi yang lebih dalam.

Kombinasi Pogba dengan Ibrahimović yang Mourinho harapkan ini sempat ditunjukkan dengan asis fantastisnya kepada Ibrahimović saat melawan West Ham. Tapi sejujurnya, jika Mourinho sampai memecahkan rekor transfer untuk Pogba, pastinya ia tidak melakukannya karena kemampuan operannya saja. Pogba kemahalan jika dibeli hanya untuk itu.

Tanpa pemain yang bertindak sebagai gelandang bertahan murni yang juga bisa mengalirkan bola lewat tengah, penyerangan United seringnya hanya terbatas melalui sayap. Sebanyak 38% serangan mereka berasal dari kiri, 34% dari kanan, dan hanya 28% dari tengah; padahal 45% daerah aksi mereka adalah di lini tengah (middle third).

Secara tidak langsung memang saya, yang hanya seorang analis sepakbola, bukan manajer sungguhan (meskipun punya lisensi pelatih yang paling cupu, dari PSSI pula), berpikir bahwa Mourinho bisa mengembangkan penyerangannya jika ia bermain dengan satu gelandang bertahan (Morgan Schneiderlin, Michael Carrick, atau Timothy Fosu-Mensah, tapi bukan Marouane Fellaini) yang mendukung dua gelandang di depannya, yang salah satu di antaranya adalah Pogba (satu lagi mungkin Ander Herrera).

Secara instan, Mkhitaryan mungkin juga bisa menjadi solusi dengan kemampuannya menemukan ruang dan menyambungkan antar lini United, seperti yang ia tunjukkan di Borussia Dortmund sebelumnya, atau sepercik yang ia tunjukkan saat melawan Feyenoord Rotterdam di Liga Europa UEFA tengah pekan yang lalu.

Tapi, saya tahu, sepakbola tidak sesederhana itu. Sepakbola tidak seserhana di permainan FIFA, PES, atau bahkan Football Manager.

Masalah-masalah di atas bukanlah hal baru untuk Mourinho. Tapi itu semua tentunya menjelaskan satu hal, bahwa Mourinho belum berkembang lagi sebagai seorang juru taktik. Kesebelasannya secara umum masih buruk dalam memanfaatkan penguasaan bola untuk ukuran kesebelasan seperti United yang memiliki banyak pemain fantastis.

Kenyataan bahwa United sudah kebobolan 15 kali, sama dengan Middlesbrough yang baru saja promosi, menunjukkan jika taktik bertahan Mourinho sudah outdated. Gol mereka yang baru 18 juga menunjukkan bahwa penyerangan United masih jauh dari apa yang suporter mereka harapkan.

Sebenarnya tergantung bagaimana kita mau memandang United. Kalau kita memandang United sebagai kesebelasan peringkat keenam di Liga Primer, hal-hal di atas sebenarnya baik-baik saja untuk mereka dan Mourinho.

Masalahnya, kita tidak akan menemukan banyak kesebelasan yang sudah menghabiskan lebih dari 100 juta paun, memiliki banyak pemain berkualitas, dan menunjuk José Mourinho sebagai manajer mereka, jika hanya ingin menjadi kesebelasan yang baik-baik saja.

Julukan ini memang bukan sesuatu yang baru. John Nicholson pernah menyebutnya dua bulan yang lalu, kemudian Tom Payne juga mengingatkan kita kembali di awal bulan ini. Tapi jika Mourinho tidak kunjung bisa mengubah nasib United, mungkin sudah saatnya julukan “The Ordinary One” benar-benar akan tersematkan untuk José Mourinho.

Exit mobile version